Kamar Kegelapan

Kebiasaan yang tak sempat dipalingkan. Suatu kebiasaan buruk menurutku. Namun kebiasaan tersebut seolah tlah tertancap didiriku. Apakah ini kutukan? Oh tidaaaak..., jangan sampai. This is very dangerous. Aku sempat alergi karena kebiasaan ini. Setiap saat selalu ada sahabat yang mengingatkan untuk memusnahkan kebiasaan ini. Namun, semua itu sulit dicerna. Sempat terfikir olehku, kenapa harus ada kebiasaan seperti ini? Benar-benar menjadi suatu problema tersendiri buatku. Kebiasaan yang membuat diriku sendiri menjadi lelah. Aku benar-benar ingin pergi jauh dari kebiasaan ini. Jauh..., sejauh mungkin.

Semua berawal dari sepasang mata, pandangan yang tajam, sorot mata yang menyayat ingatan. Semuanya susah untuk terlupakan. Wajah yang manis tak mampu tuk mengelakkan pandangan. Sosoknya tlah menghantui hari-hariku. Kemudian berlanjut dengan perkenalan. Tak disangka, hati tlah terpaut rasa. Sedikit cinta tlah terbagi untuknya. Berani-beraninya ia mencuri perasaan ini.


Hari-hari selanjutnya, diakhiri dengan perpisahan. Semua tragedi tlah menyibukkan fikiran. Namun hati tetap menyempatkan untuk duduk mengilas balikkan keadaan. Kenapa mata harus memandang? Bukannya mata harus menatap masa depan? Kenapa mata harus mewariskan ke hati? Bukannya mata saja seharusnya sudah cukup untuk merasa dimilki?

Oh..., lelah sudah mengatur schedule perasaan. Tanpa fikir panjang, aku menuangkan segala curahan pada boneka kesayangan. Rasanya tak percaya saja jika harus menceritakan semua kisah cinta pada seorang teman. Takut dilecehkan, ditertawakan, atau malah jadi bakal digosipkan. Hari demi hari suara aneh mulai mengganggu perasaan. Ntah itu khayalan ntah pula kenyataan. Suara-suara yang memaksaku untuk harus menjawab semua pertanyaan tanpa sadar.

Gelagat orang-orang disekitarku pun mulai mencurigakan. Rasanya aku sedang dimata-matai. Sedang ada yang mengintai gerak-gerikku. Aku merasa terancam akan semua itu. Aku merasa mereka akan membunuhku. Sekarang, rasanya benar-benar berada dibawah alam sadar. Aku mulai bermain dengan benda-benda tajam. Diri ini begitu mengerikan. Sedikit demi sedikit aku terlantar akan kecemasan yang membungkam.

"Kenapa kalian menatapku seperti itu, apa kalian pikir aku gila? Aku waras! 100 persen waras, percayalah" Sahutku tegas.

Sayangnya, tak ada yang percaya akan kata-kataku. Gelisah akan teriakanku, semua orang menjelma seperti setan bagiku. Ketakutan menguasai fikiran dan tangisan pun tak mampu meredam kekacauan. Sirna sudah kehidupan normal. Aku terpasung disebuah kamar yang kusebut kamar kegelapan. Disanalah sering kucurahkan semua kekesalan.

Berbagai pakar psikolog datang silih berganti menghampiriku, mencoba menenangkanku. Hingga aku terperangkap akan kebingungan yang mendalam. Semuanya begitu cepat berlalu. Fikiran terasa sakit bila mengingat, hingga aku berani melepaskan semuanya dengan membanting tubuhku kedinding-dinding yang ada disekitarku. Tenaga yang tersisa padaku sangat mengerikan. Rasanya tubuh ini tlah memiliki penghuni yang lain. Amblas sudah impian yang diharapkan.

Lama kelamaan kesenangan datang saat melihat darah mengalir. Aku tertawa, mereka menangis. Aku tersenyum, mereka pun bersedih. Hempasan demi hempasan terus kulanjutkan hingga nyawapun melayang. Nafas tak lagi berhembus, jiwa tak lagi tergoncang, hanya ada jasad yang terbujur kaku diatas ranjang. Semua orang berduka. Sayang, sisa hidup yang kuhabiskan hingga ajal datang hanya disebuah kamar kegelapan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar