Kini, hanya ada seorang Sipud

Langit seolah murung, udara sedikit tak bersahabat, suasana hatipun ikut mengasah petang yang tak menampakkan dirinya sebagaimana mestinya. Diri ini kembali merenung, kilas balik kehidupanku menoreh luka tersendiri yang hingga kini tak bisa terobati. Air mata ini kembali melembabkan wajahku. Tak kusangka hal itu membuat hidupku tak bersinar. Lingkungan masyarakat pun seolah tak menerimaku. Buktinya saja, saat aku melewati aspal diperkampungan tak ada yang tersenyum padaku. Ntah apa yang ada difikiran mereka.

Tubuhku tak terurus. Rambutku yang panjang dan keras seperti ijuk membuat wajahku tersirat angker. Bayangkan saja, jangankan untuk menyampho nya, menyisirpun tak pernah kulakukan. Hari-hariku disibukkan dengan fikiran ku sendiri serta khayalan-khayalan yang tak jelas. Aq sendiri bingung. Terkadang aku tertawa terbahak-bahak, terkadang aku menangis sejadi-jadinya, karena masyarakat tak ada yang mau berbicara padaku, aku terpaksa berbicara sendiri. Seolah ada seorang sahabat ghaib yang mau mendengarkan curhatku.



Aku masih ingat nama lengkapku, Syarifuddin. Dulunya orang-orang memanggilku Bang Arif. Tapi kenapa sekarang mereka malah memanggilku Sipud. Baik tua ataupun muda semua sama, memanggilku dengan sebutan Sipud. Anak-anak kecil itupun seolah tak ada rasa sopan dan segan terhadapku. Panggilan Abang sudah hilang, yang tertinggal Sipud, Sipud dan Sipud.

Kala itu, saat aku berusia 27 tahun, diri ini begitu gagah layaknya pangeran dari istana yang megah. Semua gadis melirikku dan ingin memilikiku. Aku begitu bangga dengan hal itu. Hingga suatu hari aku jatuh cinta pada seorang wanita yang sangat manis. Kulitnya yang putih dan halus serta ditambah dengan lesung pipit saat ia tersenyum membuat aura wajahnya begitu mempesona. Tubuhnya yang tinggi dan ideal menyiratkan ia seperti seorang model terkenal saat ia berjalan. Pakaiannya yang berbalut kerudung mencerminkan ia benar-benar seorang gadis idaman pria. Belum lagi ketabahan, keramahan dan keta’atannya membuat bidadari syurga cemburu terhadapnya.

Lambat laun aku pun dekat dengannya. Lengkapnya Annisa, orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan Nisa.

“Jadi kapan Bang Arif mengkhitbah Nisa, kita sudah terlalu lama ta’aruf Bang, takutnya nanti jadi fitnah” sahutnya lembut.

“Abang pasti mengkhitbah Nisa, hanya saja Abang sedang menunggu waktu yang tepat, Abang janji dalam bulan Maret ini Abang dan keluarga Abang akan datang kerumah Nisa”

“Baiklah Bang, kalau begitu Nisa pulang dulu, kalau lama-lama disini hati ini terus diliputi dengan perasaan yang berbunga-bunga, Nisa takut terlalu banyak zina hati yang Nisa lakukan”.

“Ya, hati-hati”.

Benar kata Nisa, selama ini aku telah lama dekat dengannya. Kami sama-sama saling mencintai. Sekaranglah saatnya aku harus bicarakan hal ini pada orangtuaku. Disepanjang jalan, hatiku terus bergumam untuk mengatur kata-kata yang tepat pada kedua orang tuaku.

“Bang Arif!” sahut satu suara yang mengagetkanku.

“Ada apa?”

“Rumah Abang terbakar”sahutnya terengah-engah.

Tanpa menghiraukannya aku langsung berlari secepatnya. Langit seolah runtuh, perasaanku kacau. Hingga sesampainya aku dirumah yang kulihat semuanya musnah, tak ada yang tersisa dari rumahku. Keluarga besarkupun dilahab oleh api yang menggila. Dari musibah besar itu, hanya Ayah yang dapat diselamatkan.

Saat Ayah sadar, tak henti-hentinya Ayah menyalahkanku.

“Kemana kamu saat kami susah, saat kami butuh pertolongan kamu tak pernah ada untuk kami” sahutnya sambil berderai air mata.

Ayah tak pernah berhenti mengeluarkan kata-kata itu saat melihat wajahku. Aku benar-benar tertekan saat itu. Rasanya dunia ini tak menyatu dengan tubuhku. Aku seperti minyak yang berada diatas air. Kehadiranku tak diterima oleh Ayahku. Aku pergi menjumpai Nisa dan menyatakan semua musibah ini terhadapnya. Tak ada jalan keluar dari Nisa, hanya air mata yang kulihat diwajahnya.

“Kenapa harus menangis?” sahutku padanya.

“Nisa mencintai Abang, sangat mencintai. Tapi sepertinya kita memang tidak berjodoh”.

“Maksudnya apa ini?”

“Janji Nisa pada Abah, kalau dalam bulan Maret ini tidak ada yang mengkhitbah Nisa, maka Abah yang akan mencarikan calon suami untuk Nisa”.

Mendengar kalimat itu dari bibirnya, aku tak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Aku hanya terdiam. Aku menangis dan kemudian tertawa. Nisa sepertinya terlihat ketakutan dengan ekspresiku, ia mencoba berbicara untuk membuatku tabah. Tapi aku malah mengusirnya. Nisa menangis sejadi-jadinya dan pergi meninggalkanku.

Mulai saat itu aku tak mengenal siapa diriku lagi. Aku tak mengenal siapa itu Bang Arif. Yang kutahu aku tak bisa menerima bahwa Jodoh itu ditangan Tuhan, selama ini aku begitu yakin kalau Nisa lah yang akan menemani hidupku selamanya. Aku dibutakan oleh cinta hingga aku lupa bahwa sebenarnya ada Sang Pencipta yang Maha menguasai cinta dan Maha dari segala Maha.

Dulunya aku sangat bangga terhadap diriku yang tampan, hingga aku begitu yakin kalau suatu saat aku pasti mendapatkan istri yang cantik dan baik. Hingga aku menjadi manusia yang sangat bahagia didunia ini. Namun Sang Pencipta berencana lain, sayangnya aku tak bisa menerima semua ini hingga sosok Arif pun pergi meninggalkanku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar