Takjub melihat sosoknya. Salut melihat kepribadiannya. Tekadku ingin mempersuntingnya merusut karena kami sangat jauh berbeda. Wajahnya yang memang sangat mempesona tak pantas bersanding dengan kekusutan wajahku.
Aku akrab disapa Hanif. Keseharianku disibukkan dengan berdagang bakso keliling. Biasanya aku menjual satu mangkok sebesar Rp.5000 dan hal itu membuat kehidupku benar-benar pas-pasan. Aku hidup bersama Ana adik bungsuku. Kedua orang tua kami tlah lama tiada. Aku harus bekerja keras untuk menghidupi kebutuhan kami berdua. Aku tak ingin kalau adikku tak menyelesaikan sekolahnya seperti diriku yang tak tamat sekolah menengah pertama.
Suatu hari gejolak hati ku bersinar dan bergetar saat melihat bidadari itu. Senyumnya yang manis dengan dilapisi kerudung dan gamis simple nya membuat dirinya terlihat anggun saat itu. Kulitnya yang lembut dan putih, hidungnya yang mancung dan lesung pipinya saat tersenyum memancarkan keramahan yang sejuk ada pada dirinya.
“Abang…Baksonya satu dibungkus”suaranya yang lembut mengagetkan lamunanku.
“Jangan pakai saus Bang” sahutnya datar.
“Oh..iya”.
Dengan perasaan yang bergetar aku membuat sebungkus bakso untuknya.
“Terima kasih Bang” sambil tersenyum ia berlalu meninggalkanku.
Sungguh indah bidadari itu. Aku benar-benar jatuh cinta. Mengingat profesiku tak mungkin aku bisa mendapatkannya. Mana mungkin seorang penjual bakso keliling bisa mendapatkan istri secantik dia.
Malam harinya hati ini masih terpaut akan wajahnya. Senyumnya, suaranya semua itu benar-benar membuatku tak berhenti memikirkannya. Dalam shalatku tetesan bening jatuh dipipiku. Diatas sajadah ini aku bersimpuh. Tak lupa kupanjatkan do’a pada Sang Maha Kuasa.
Keesokan harinya, aku kembali mendorong gerobak baksoku. Terik membakar kulitku. Wajahku yang kusam dan kulitku yang hitam membuat sosokku terlihat tak beraturan.
“Bakso Bang”.
Mendengar suara itu, aku langsung mengenalnya.
“Syifa…, baksonya tambah sebungkus lagi” sahut satu suara diseberang rumahnya.
“Iya Abah”.
“Syifa nama yang bagus” sahutku mencoba ramah.
“Terima kasih, kalau nama Abang siapa?”
“Hanif”
“Hanif juga nama yang bagus”.
“Ah…, saya jadi malu, ini baksonya”.
Sambil tersenyum ia mengambil plastik bakso dan berlalu meninggalkanku.
Obrolan pertama yang sempat mebuatku tak bisa tidur malam itu. Waktu demi waktu Aku dan Syifa mulai akrab. Dalam waktu sebulan ta’aruf ku dengan Syifa mulai membuahkan hasil. Saat ku tanya padanya tentang seorang Hanif menurutnya, sinyal cinta mulai kudapatkan. Tanpa ragu aku pun mempersuntingnya, Alhasil kini aku tlah menikah dengannya.
Sore itu, disaat semilir angin sepoi-sepoi menyentuh kulit, suaranya yang lembut membuat ku sujud syukur saat itu juga.
“Menurut Syifa…, sosok seorang Hanif adalah sosok yang di idam-idamkan oleh sosok seorang Syifa”.
“Kenapa?”
“Melihat kesederhanaanmu, kerja kerasmu, keseharianmu yang tak pernah melupakan Allah selaku yang Sang Pencipta dan kebahagiaan yang kau persembahkan untuk adikmu, membuatku terharu dan banyak belajar dari sosok seorang Hanif. Wanita mana yang tak ingin memiliki Pangeran cinta yang ta’at, bekerja keras untuk keluarga, dan memiliki kepribadian dan penampilan yang sederhana sepertimu, wanita mana yang tidak ingin mendampingi laki-laki yang seperti itu? Aku salut akan kesabaran dan ketaqwaanmu” sahutnya lembut.
Sejenak aku terpana mendengar kata-kata yang terurai dari bibir mungilmya.
“Allahu Akbar….” Sahutku terbata-bata.
Allah Maha Besar. Aku tak menyangka, kalau Syifa yang Allah kirimkan untuk menemani hidupku. Sebuah perkenalan lewat sebungkus bakso, hingga kini aku memberi nama usahaku dengan Bakso Cinta.
Bakso Cinta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar